Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sedikit perihal ejaan yang tertera pada uang kertas kita, khususnya pada kepingan 2 ½ rupiah.
Pertama-tama, mari kita ambil kepingan 2 ½ rupiah yang terdapat pada seri NICA 1943. Perhatikan goresan pena pada nominalnya : DOEA ROEPIAH LIMAPOELOEH SEN
DOEA ROEPIAH LIMAPOELOEH SEN (NICA 1943)
Ejaan yang digunakan ialah ejaan van Ophuysen :
Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) menciptakan sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen menerima perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan huruf Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan majemuk sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan proteksi Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, hasilnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang populer dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka , pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tetap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan gres pada tahun 1926 menerima bentuk yang tetap.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan semoga ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan semoga ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan.
Yang saya mau tekankan disini selain persoalan ejaannya juga susunan kata-katanya:
DUA RUPIAH dituliskan lebih dulu gres disusul LIMAPULUH SEN
Sekarang kita ambil beberapa uang lainnya.
Perhatikan susunan kata pada kepingan 2 ½ rupiah seri ORI III 1947 yang tertulis DUA SETENGAH RUPIAH
DUA SETENGAH RUPIAH (ORI III 26 Juli 1947)
Lalu kita lihat susunan kata pada Uang Daerah Propinsi Sumatera (URIPS) yang dicetak tanggal 17 Agustus 1947. Susunan kata menjadi DUA RUPIAH SETENGAH
DUA RUPIAH SETENGAH (URIPS 17 Agustus 1947)
Susunan kata berubah lagi pada ORIDA (Oeang RI Daerah Atjeh) tanggal 15 September 1947 yang tertulis : DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN. Mirip dengan seri NICA tetapi sudah memakai ejaan Suwandi :
Dalam perkembangan selanjutnya terutama setelah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang simpel yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancang sewaktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan gres oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan bapak Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) perihal perubahan ejaan bahasa Indonesia; lantaran itu ejaan ini lalu populer dengan nama Ejaan Suwandi. Sebagai imbas dalam keputusan di atas, suara oe diganti dengan u. Tetapi gres pada tahun 1949, berdasarkan surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe resmi diganti dengan u yaitu mulai 1 Januari 1949.
DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN (ORIDA 15 September 1947)
Selain macam-macam goresan pena di atas, ternyata ada lagi satu jenis uang tempat yang agak abnormal dalam menuliskan kata RUPIAH.
DUA SETENGAH RUPIJAH
Sudah sanggup kita duga bahwa uang tersebut niscaya berasal dari tempat Jawa, tepatnya ialah Daerah Keresidenan Kedu. Tercetak di uang tersebut tanggal terbitnya yaitu Magelang 25 Oktober 1948.
Lalu dimasa pemerintahan Federal, pemerintah Belanda menerbitkan lagi uang kertas terakhirnya yaitu seri Federal III yang bertahun 1948. Ejaan yang dipergunakan masih ejaan van Ophuysen yang berbunyi DOEA ROEPIAH SETENGAH. Yang istimewa ialah kata-kata yang dalam bahasa Indonesia tersebut selain diletakkan di atas kata-kata dalam bahasa Belandanya juga mempunyai ukuran yang sama besar. Bandingkan dengan seri NICA yang susunannya terbalik serta kata-kata bahasa Belandanya lebih besar daripada Indonesianya. Hal ini mungkin berarti bahwa Belanda sudah merasa kalah dan berusaha untuk mengambil hati bangsa Indonesia.
DOEA ROEPIAH SETENGAH (Federal III 1948)
Dari contoh-contoh di atas sanggup kita ambil kesimpulan bahwa dimasa awal kemerdekaan Indonesia, ejaan yang digunakan masih kacau. Pihak Belanda mempergunakan ejaan ciptaannya yaitu van Ophuysen, sementara pihak Indonesia berusaha menggantinya dengan ejaan Suwandi. Selain ejaan, susunan atau tata bahasanyapun masih kacau, ada yang tercetak DUA SETENGAH RUPIAH, ada yang DUA RUPIAH SETENGAH dan ada yang DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN.
Dapat dipastikan bahwa pada waktu itu telah terjadi perdebatan yang sengit antara para pakar tata bahasa. Yang manakah yang akan digunakan untuk pecahan-pecahan selanjutnya, apakah
DUA SETENGAH RUPIAH,
DUA RUPIAH SETENGAH atau
DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN ?
Dan pemenangnya sudah sanggup kita duga adalah:
DUA SETENGAH RUPIAH (1951)
Sejak 1951, rupanya para pakar telah mengambil kata setuju untuk menuliskan semua kepingan 2 ½ rupiah dalam bentuk: DUA SETENGAH RUPIAH
DUA RUPIAH SETENGAH atau
DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN ?
Dan pemenangnya sudah sanggup kita duga adalah:
DUA SETENGAH RUPIAH (1951)
Sejak 1951, rupanya para pakar telah mengambil kata setuju untuk menuliskan semua kepingan 2 ½ rupiah dalam bentuk: DUA SETENGAH RUPIAH
.
.Perkembangan ejaan selanjutnya adalah:
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan persoalan ejaan. Sesuai dengan seruan Kongres, lalu dibuat sebuah panitia dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan gres pada tahun 1957. Namun keputusan ini tidak sanggup dilaksanakan lantaran ada perjuangan untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada final tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang lalu dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan lantaran perkembangan politik kemudian.
Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibuat lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala perjuangan penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan gres yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:
Perubahan dj (seperti pada kata djalan) menjadi j (jalan)
Perubahan dj (seperti pada kata djalan) menjadi j (jalan)
Perubahan j (seperti pada pajung) menjadi y (payung)
Perubahan nj (njonja) menjadi ny (nyonya)
Perubahan sj (sjarat) menjadi sy (syarat)
Perubahan tj (tjakap) menjadi c (cakap) dan
Perubahan ch (tarich) menajdi kh (tarikh)
Ternyata kita juga sanggup mempelajari perkembangan ejaan dan tata bahasa Indonesia dari . Menarik bukan?
Jakarta 15 Agustus 2010
Saran dan kritik hubungi : arifindr@gmail.com
Sumber:
1. KUKI
3. Koleksi pribadi
iklan
0 Response to "Uang Kuno Rp.2,5"
Post a Comment