Mulai dikala ini dan seterusnya, website uang-kuno akan mencoba untuk menawarkan edukasi yang lebih mendetail wacana segala sesuatu yang bersangkut paut dengan , tujuannya semoga kita semua sanggup mengetahui lebih mendalam wacana nilai dari barang-barang yang kita kumpulkan, sehingga kita sanggup lebih menghargai, menyenangi dan tentunya melanjutkan hobby yang telah kita tekuni ini.
.
Untuk warta kali ini akan saya tampilkan materi yang dibahas pada seminar numismatik yang diadakan pada tanggal 27 Oktober 2009 oleh Museum Bank Indonesia Jakarta. Diantara pembicaranya terdapat seorang pakar numismatik berjulukan bapak Puji Harsono, nama ia tentu sudah tidak absurd lagi, sebagai kolektor koin ternama sekaligus pendiri dan penggagas Java Auction ia memberikan materi yang sangat penting untuk kita ketahui bersama yaitu wacana Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia. Agar kita mengerti apa isi dari seminar ini, maka akan saya tampilkan materi yang disampaikan oleh pembicara.
SEJARAH PERKEMBANGAN MATA-UANG INDONESIA
(Seminar Numismatika oleh Bank Indonesia, 27 Oktober 2009)
Berbicara wacana perkembangan mata-uang yang dulu pernah berlaku di wilayah Nusantara, maka ditinjau dari kepemilikan mata uang tersebut sanggup diklasifikasikan dalam dua kelompok :
.Mata-uang atau koin-koin orisinil buatan lokal, yang dicetak oleh kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah tertentu diwilayah Indonesia.
.
Mata-uang yang dimasukkan oleh orang-orang asing, baik pedagang maupun pemerintahan absurd yang bertindak sebagai penjajah atau penguasa wilayah Nusantara, untuk digunakan sebagai alat tukar yang sah di wilayah Indonesia. Termasuk juga mata-uang yang dicetak di Jawa oleh orang-orang absurd tersebut di atas, untuk diedarkan di wilayah Nusantara.
Mata-uang yang dimasukkan oleh orang-orang asing, baik pedagang maupun pemerintahan absurd yang bertindak sebagai penjajah atau penguasa wilayah Nusantara, untuk digunakan sebagai alat tukar yang sah di wilayah Indonesia. Termasuk juga mata-uang yang dicetak di Jawa oleh orang-orang absurd tersebut di atas, untuk diedarkan di wilayah Nusantara.
.Berdasarkan jamannya, perkembangan mata-uang Indonesia sanggup dibagi dalam beberapa periode :
.
JAMAN KERAJAAN HINDU BUDDHA (850-1300).
Kerajaan Mataram Syailendra
Kerajaan Daha/Jenggala & Majapahit
JAMAN KERAJAAN HINDU BUDDHA (850-1300).
Kerajaan Mataram Syailendra
Kerajaan Daha/Jenggala & Majapahit
.JAMAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM.
Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
Kerajaan-kerajaan di Sumatra (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi).
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)
Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
Kerajaan-kerajaan di Sumatra (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi).
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)
.JAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL.
Perdagangan dengan Cina (850- 1900)
Perdagangan dengan VOC (1602-1799).
Emergency Coins atau koin-koin darurat.
Perdagangan dengan Cina (850- 1900)
Perdagangan dengan VOC (1602-1799).
Emergency Coins atau koin-koin darurat.
.
JAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-1945).
Pendudukan Hindia Belanda (1800 – 1942)
Pendudukan Perancis (1806-1811)
Pendudukan Inggris (1811-1816)
British East India Company di Sumatra.
Token-Token Perkebunan dan Pertambangan.
Mata-uang lainnya.
JAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-1945).
Pendudukan Hindia Belanda (1800 – 1942)
Pendudukan Perancis (1806-1811)
Pendudukan Inggris (1811-1816)
British East India Company di Sumatra.
Token-Token Perkebunan dan Pertambangan.
Mata-uang lainnya.
.
JAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
JAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
.
JAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945 - ---).
JAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945 - ---).
.
.
1. JAMAN KERAJAAN HINDU BUDHA (850 – 1300 Masehi).
1. JAMAN KERAJAAN HINDU BUDHA (850 – 1300 Masehi).
.
A. Kerajaan Mataram SyailendraMata-uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis materi emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :
- Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang,.
- Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 kupang.
- Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak.
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).
Koin emas jaman Syailendra berbentuk kecil menyerupai kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) hanya berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada penggalan depannya terdapat abjad Devanagari “Ta”. Dibelakangnya terdapat incuse (lekukan kedalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, contoh ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada penggalan muka dicetak abjad Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di penggalan belakangnya terdapat incuse dengan contoh “Bunga Cendana”.
Kerajaan Syailendra kesannya meluaskan daerahnya hingga ke daerah-daerah Jawa Timur, dimana. pelabuhan-pelabuhannya menyerupai Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak berdatangan para pedagang dari manca negara. Jawa Timur dengan pelabuhan-pelabuhannya merupakan kawasan maritim, kesannya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan kawasan agraris.
Pada jaman Dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi), orang-orang Cina mulai berdatangan ke tanah Jawa untuk melaksanakan perdagangan. Mereka membawa dan memperkenalkan mata-uangnya yang disebut Cash atau Caixa, Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng atau Gobok, dengan ciri khas terdapat lubang persegi ditengah. Koin-koin Cina ini lambat laun sanggup diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran.
Pada kira-kira tahun 928 Masehi, Gunung Merapi meletus dahsyat, yang menimbulkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan diatas, disamping semakin majunya kawasan Jawa Timur, maka pada tahun 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Nantinya Raja Mpu Sendok membagi wilayah Jawa Timur menjadi dua untuk dibagikan kepada dua orang anaknya, menjadi wilayah Daha dan Jenggala.
A. Kerajaan Mataram SyailendraMata-uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis materi emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :
- Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang,.
- Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 kupang.
- Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak.
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).
Koin emas jaman Syailendra berbentuk kecil menyerupai kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) hanya berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada penggalan depannya terdapat abjad Devanagari “Ta”. Dibelakangnya terdapat incuse (lekukan kedalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, contoh ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada penggalan muka dicetak abjad Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di penggalan belakangnya terdapat incuse dengan contoh “Bunga Cendana”.
Kerajaan Syailendra kesannya meluaskan daerahnya hingga ke daerah-daerah Jawa Timur, dimana. pelabuhan-pelabuhannya menyerupai Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak berdatangan para pedagang dari manca negara. Jawa Timur dengan pelabuhan-pelabuhannya merupakan kawasan maritim, kesannya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan kawasan agraris.
Pada jaman Dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi), orang-orang Cina mulai berdatangan ke tanah Jawa untuk melaksanakan perdagangan. Mereka membawa dan memperkenalkan mata-uangnya yang disebut Cash atau Caixa, Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng atau Gobok, dengan ciri khas terdapat lubang persegi ditengah. Koin-koin Cina ini lambat laun sanggup diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran.
Pada kira-kira tahun 928 Masehi, Gunung Merapi meletus dahsyat, yang menimbulkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan diatas, disamping semakin majunya kawasan Jawa Timur, maka pada tahun 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Nantinya Raja Mpu Sendok membagi wilayah Jawa Timur menjadi dua untuk dibagikan kepada dua orang anaknya, menjadi wilayah Daha dan Jenggala.
.
B.Kerajaan Daha/Jenggala, dan Majapahit
Pada jaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada waktu itu uang kepeng Cina tiba begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, kesannya digunakan secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata-uang lokal emas dan perak.
Adapun alasan-alasan dari penggantian fungsi ini yaitu :
- ukuran koin emas dan perak lokal terlalu kecil, sehingga gampang jatuh atau hilang. Sedangkan uang kepeng Cina mempunyai lubang ditengah, direnteng dengan tali sebanyak 200 keping, sehingga simpel dibawa kemana-mana dan tidak gampang hilang.
- koin emas dan perak lokal yaitu mata-uang dalam pecahan besar, sedangkan koin-koin kepeng berfungsi sebagai uang kecil atau uang receh, yang sangat dibutuhkan dalam perdagangan. Nilai tukar untuk 1 Masa perak berharga 400 buah Chien. Dan pada selesai masa ke-9, dengan 4 Masa perak saja sanggup membeli seekor kambing.
Sebenarnya koin-koin emas dan perak yang sudah mengalami perubahan bentuk yaitu produk dari Daha dan Jenggala. Namun alasannya Kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya orang menamainya sebagai uang Majapahit. Padahal semenjak selesai masa ke-XIII, mata-uang “resmi” yang digunakan sebagai alat pembayaran yaitu koin-koin kepeng Chien.
Namun pada jaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah alasannya efek dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang yaitu orisinil buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil menyerupai yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang. Sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa penggalan barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
B.Kerajaan Daha/Jenggala, dan Majapahit
Pada jaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada waktu itu uang kepeng Cina tiba begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, kesannya digunakan secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata-uang lokal emas dan perak.
Adapun alasan-alasan dari penggantian fungsi ini yaitu :
- ukuran koin emas dan perak lokal terlalu kecil, sehingga gampang jatuh atau hilang. Sedangkan uang kepeng Cina mempunyai lubang ditengah, direnteng dengan tali sebanyak 200 keping, sehingga simpel dibawa kemana-mana dan tidak gampang hilang.
- koin emas dan perak lokal yaitu mata-uang dalam pecahan besar, sedangkan koin-koin kepeng berfungsi sebagai uang kecil atau uang receh, yang sangat dibutuhkan dalam perdagangan. Nilai tukar untuk 1 Masa perak berharga 400 buah Chien. Dan pada selesai masa ke-9, dengan 4 Masa perak saja sanggup membeli seekor kambing.
Sebenarnya koin-koin emas dan perak yang sudah mengalami perubahan bentuk yaitu produk dari Daha dan Jenggala. Namun alasannya Kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya orang menamainya sebagai uang Majapahit. Padahal semenjak selesai masa ke-XIII, mata-uang “resmi” yang digunakan sebagai alat pembayaran yaitu koin-koin kepeng Chien.
Namun pada jaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah alasannya efek dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang yaitu orisinil buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil menyerupai yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang. Sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa penggalan barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
.
2. JAMAN KERAJAAAN-KERAJAAN ISLAM.
2. JAMAN KERAJAAAN-KERAJAAN ISLAM.
.A. Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep).
Mata-uang dari KESULTANAN BANTEN pertama kali dibentuk sekitar tahun 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil contoh dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada penggalan muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun sehabis mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, menyerupai yang ditemukan pada akhir-akhir ini .
Mata-uang dari KESULTANAN CIREBON dibentuk sekitar tahun 1710/1760, dikala berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan materi dari timah dengan lubang ditengah itu, pada penggalan muka tertulis inskripsi : “Cheribon”.
Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, KESULTANAN SUMENEP di Pulau Madura tidak mencetak mata-uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin absurd (diluar Sumenep), dengan di beri “Countermarked” (cetak tindih). Koin-koin yang digunakan yaitu koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar) dan (Real Batu/Cob), dll. Sedangkan cetak tindih yang dipakai, ada beberapa jenis menyerupai “Bintang Madura”, dengan goresan pena Arab “Sumenep”, atau “cap dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibentuk pada dikala bertahtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan Sumenep.
Mata-uang dari KESULTANAN BANTEN pertama kali dibentuk sekitar tahun 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil contoh dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada penggalan muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun sehabis mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, menyerupai yang ditemukan pada akhir-akhir ini .
Mata-uang dari KESULTANAN CIREBON dibentuk sekitar tahun 1710/1760, dikala berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan materi dari timah dengan lubang ditengah itu, pada penggalan muka tertulis inskripsi : “Cheribon”.
Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, KESULTANAN SUMENEP di Pulau Madura tidak mencetak mata-uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin absurd (diluar Sumenep), dengan di beri “Countermarked” (cetak tindih). Koin-koin yang digunakan yaitu koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar) dan (Real Batu/Cob), dll. Sedangkan cetak tindih yang dipakai, ada beberapa jenis menyerupai “Bintang Madura”, dengan goresan pena Arab “Sumenep”, atau “cap dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibentuk pada dikala bertahtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan Sumenep.
.
B. Kerajaan-kerajaan di Sumatra (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi).Mata uang emas dari KERAJAAN PASAI untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar tahun 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0.60 gram (berat standard Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0.30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10 – 11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh KERAJAAN ACEH pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata-uangnya. Namun uang Dirham Aceh berdiameter lebih besar, antara 12 – 14 mm. Pada penggalan belakangnya terdapat goresan pena Arab “as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Aceh juga menciptakan mata-uang dari timah/timbal, yang disebut “Keueh”, dengan nilai satu Mas sama dengan 400 Keueh.
Kerajaan Aceh pernah mempunyai empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60 tahun, dari 1641-1699. Yang pertama yaitu Sultanah Safiat ad-Din, anak dari Sultan Iskandar Thani yang meninggal pada tahun 1641. Karena tidak mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuannya yang berkuasa hingga dengan tahun 1675. Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah Ratu Aceh yang kedua, yang memerintah pada tahun 1675-1678. Penggantinya yaitu Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah yang memerintah tahun 1678-1688. Dan terakhir yaitu Sultanah Kamalat Syah. Beliau memegang kekuasaan atas wilayah Aceh dari tahun 1688-1699. Masing-masing ratu tersebut juga mencetak mata-uangnya.
Mata-uang dari KERAJAAN PALEMBANG sanggup dibedakan antara yang mempunyai lubang ditengah, yang disebut dengan pitis “Picis Tebok” (Tebok dalam dialek Palembang berarti “Lubang”). Ada juga yang tidak mempunyai lubang yang disebut dengan “Picis Buntu”.
Picis Palembang sanggup dibedakan juga antara yang bertahun dan yang tidak bertahun. Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75 Masehi), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah (berdasarkan temuan yang terbaru).
KERAJAAN JAMBI di Sumatra juga menciptakan mata-uang picis dari timah. Salah satu koinnya ada yang berbentuk Oktagonal (segi 8), dengan goresan pena “Sultan Anom Sri Ingalaga”. Ia mulai memerintah pada tanggal 21 Februari 1743.
B. Kerajaan-kerajaan di Sumatra (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi).Mata uang emas dari KERAJAAN PASAI untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar tahun 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0.60 gram (berat standard Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0.30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10 – 11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh KERAJAAN ACEH pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata-uangnya. Namun uang Dirham Aceh berdiameter lebih besar, antara 12 – 14 mm. Pada penggalan belakangnya terdapat goresan pena Arab “as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Aceh juga menciptakan mata-uang dari timah/timbal, yang disebut “Keueh”, dengan nilai satu Mas sama dengan 400 Keueh.
Kerajaan Aceh pernah mempunyai empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60 tahun, dari 1641-1699. Yang pertama yaitu Sultanah Safiat ad-Din, anak dari Sultan Iskandar Thani yang meninggal pada tahun 1641. Karena tidak mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuannya yang berkuasa hingga dengan tahun 1675. Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah Ratu Aceh yang kedua, yang memerintah pada tahun 1675-1678. Penggantinya yaitu Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah yang memerintah tahun 1678-1688. Dan terakhir yaitu Sultanah Kamalat Syah. Beliau memegang kekuasaan atas wilayah Aceh dari tahun 1688-1699. Masing-masing ratu tersebut juga mencetak mata-uangnya.
Mata-uang dari KERAJAAN PALEMBANG sanggup dibedakan antara yang mempunyai lubang ditengah, yang disebut dengan pitis “Picis Tebok” (Tebok dalam dialek Palembang berarti “Lubang”). Ada juga yang tidak mempunyai lubang yang disebut dengan “Picis Buntu”.
Picis Palembang sanggup dibedakan juga antara yang bertahun dan yang tidak bertahun. Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75 Masehi), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah (berdasarkan temuan yang terbaru).
KERAJAAN JAMBI di Sumatra juga menciptakan mata-uang picis dari timah. Salah satu koinnya ada yang berbentuk Oktagonal (segi 8), dengan goresan pena “Sultan Anom Sri Ingalaga”. Ia mulai memerintah pada tanggal 21 Februari 1743.
.
C.Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Maluka).KESULTANAN PONTIANAK mulai didirikan pada tahun 1770, oleh seorang pedagang keturunan Arab yang berjulukan Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.
Koin-koin dari KESULTANAN BANJARMASIN pada umumnya merupakan imitasi dari koin-koin Duit VOC, yang dicetak sewaktu bertahtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin-koinnya mempunyai lambang VOC, dan bertahun AH 1221.
Sebenarnya di Kalimantan masih ada satu kerajaan lagi yang jarang diketahui umum, yaitu KERAJAAN MALUKA. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang berjulukan Alexander Hare, seorang petualang berbangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812 diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai Residen. Namun tak usang memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk koloni sendiri, yang berjulukan Maluka. Hare mencetak mata-uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan kerikil bara. Namun masa pemerintahan Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, hanya dua tahun saja. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai “mengambil alih” daerah-daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah kekuasaannya.
C.Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Maluka).KESULTANAN PONTIANAK mulai didirikan pada tahun 1770, oleh seorang pedagang keturunan Arab yang berjulukan Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.
Koin-koin dari KESULTANAN BANJARMASIN pada umumnya merupakan imitasi dari koin-koin Duit VOC, yang dicetak sewaktu bertahtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin-koinnya mempunyai lambang VOC, dan bertahun AH 1221.
Sebenarnya di Kalimantan masih ada satu kerajaan lagi yang jarang diketahui umum, yaitu KERAJAAN MALUKA. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang berjulukan Alexander Hare, seorang petualang berbangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812 diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai Residen. Namun tak usang memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk koloni sendiri, yang berjulukan Maluka. Hare mencetak mata-uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan kerikil bara. Namun masa pemerintahan Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, hanya dua tahun saja. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai “mengambil alih” daerah-daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah kekuasaannya.
.D. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton).
Mata uang dari KERAJAAN GOWA di Sulawesi Selatan, disebut dengan “Dinara”, yang terbuat dari emas. Sultan Alauddin Awwalul Islam yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1593-1639, yaitu sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Sultan Hasanuddin, yang memerintah pada tahun 1653-1669, dengan gelarnya “I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape”. Dengan kekalahannya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah Minahasa, Butung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain daripada VOC, tidak boleh untuk melaksanakan perdagangan diwilayah penggalan timur tersebut.
KERAJAAN BUTON di Sulawesi Tenggara, mempunyai bentuk mata-uang unik yang terbuat dari kain. Mata uang ini dinamakan “Kampua”. Menurut legendanya, Kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona, yang memerintah sekitar masa XIV.
Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Besar atau yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melaksanakan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga dibutuhkan semoga tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu dirubah-rubah.
Adapun standard pemotongan kain Kampua yaitu dengan mengukur panjang dan lebar Kampua, dengan cara : ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan hingga ke-ujung jari tangan, untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang digunakan sebagai alat ukur yaitu tangan sang Menteri Besar atau ‘Bonto Ogena’ itu sendiri! Pada awal pembuatannya, standar yang digunakan sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’ (lembar) Kampua yaitu sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang-uang buatan “Kompeni”. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton hingga dengan tahun 1940!
Mata uang dari KERAJAAN GOWA di Sulawesi Selatan, disebut dengan “Dinara”, yang terbuat dari emas. Sultan Alauddin Awwalul Islam yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1593-1639, yaitu sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Sultan Hasanuddin, yang memerintah pada tahun 1653-1669, dengan gelarnya “I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape”. Dengan kekalahannya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah Minahasa, Butung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain daripada VOC, tidak boleh untuk melaksanakan perdagangan diwilayah penggalan timur tersebut.
KERAJAAN BUTON di Sulawesi Tenggara, mempunyai bentuk mata-uang unik yang terbuat dari kain. Mata uang ini dinamakan “Kampua”. Menurut legendanya, Kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona, yang memerintah sekitar masa XIV.
Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Besar atau yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melaksanakan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga dibutuhkan semoga tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu dirubah-rubah.
Adapun standard pemotongan kain Kampua yaitu dengan mengukur panjang dan lebar Kampua, dengan cara : ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan hingga ke-ujung jari tangan, untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang digunakan sebagai alat ukur yaitu tangan sang Menteri Besar atau ‘Bonto Ogena’ itu sendiri! Pada awal pembuatannya, standar yang digunakan sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’ (lembar) Kampua yaitu sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang-uang buatan “Kompeni”. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton hingga dengan tahun 1940!
.
.3. JAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL.
Dalam penggolongan jaman perdagangan internasional ini gotong royong bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) saja yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling mayoritas dalam melaksanakan perdagangan di Jawa. Dan dari mata-uang Cash Cina dan mata-uang “kompeni” inilah yang telah menawarkan efek yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik di Indonesia.
Dalam penggolongan jaman perdagangan internasional ini gotong royong bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) saja yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling mayoritas dalam melaksanakan perdagangan di Jawa. Dan dari mata-uang Cash Cina dan mata-uang “kompeni” inilah yang telah menawarkan efek yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik di Indonesia.
.
A. Perdagangan dengan China (850-1900).Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada jaman dinasti Tang di China (618-907 Masehi). Mereka dengan jung-jung nya (kapal China), mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, menyerupai di Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu itu di Jawa Timur populer dengan produksi ladanya. Dalam melaksanakan perdagangannya, orang-orang China memperkenalkan dan menggunakan koin-koin tembaga yang disebut dengan “Chien” atau “Cash”, yang kesannya diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran. Jaman Dinasti Sung di China (960-1279) yaitu puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang-orang China yang tiba ke Jawa untuk berdagang, sambil membawa uang-uang kepengnya dalam jumlah besar.
Ma Huan, seorang Islam sebagai juru tulis Laksamana Cheng Ho, mencatat keadaan pada tahun 1405. Dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416, dikatakan bahwa :
“Koin-koin China dari banyak sekali dinasti umum digunakan disini”….. “Dalam melaksanakan transaksi, pembayarannya menggunakan koin-koin cash tembaga China dari banyak sekali dinasti”…. “Orang-orang disini (Jawa Timur) sangat bahagia dengan porselin-porselin China dengan motif hijau bunga, kain sutera, manik-manik dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash”….
Karena uang Chien banyak diekspor ke Jawa, maka pada jaman Dinasti Ming di China (1368-1644), terjadi keguncangan moneter akhir langkanya uang kecil. Akhirnya pemerintah Ming melaksanakan larangan ekspor uang Ch’ien ke luar negeri, termasuk ke Jawa. Sebagai gantinya VOC mengimport koin-koin kepeng dari negara-negara lain, menyerupai Jepang, Korea dan Vietnam. Tahun 1723 Jepang kesannya menghentikan export uang cash.
Sebagai pengganti uang Chien yang tidak boleh di export oleh Kaisar Ming, pada sekitar tahun 1590 mulai beredar koin-koin picis dari timah atau timbal (lead). Uang picis ini dibentuk di China, diangkut bersamaan dengan kedatangan kapal-kapal Jung dengan berat rata-rata 200-300 ton. Kapal-kapal tersebut sebanyak 15-20 kapal setahunnya, tiba pada bulan November atau Desember, dan akan kembali ke China pada bulan Juni tahun berikutnya, dengan membawa rempah-rempah yang dibelinya dari Banten. Sebanyak 12-13 ribu picis seharga satu dollar Spanyol, yang sanggup membeli merica sebanyak 8 kantong. Di Indonesia, hanya Bali yang tetap menggunakan koin cash China dalam bertransaksi, bahkan masih digunakan hingga dengan pada tahun 1950!
A. Perdagangan dengan China (850-1900).Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada jaman dinasti Tang di China (618-907 Masehi). Mereka dengan jung-jung nya (kapal China), mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, menyerupai di Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu itu di Jawa Timur populer dengan produksi ladanya. Dalam melaksanakan perdagangannya, orang-orang China memperkenalkan dan menggunakan koin-koin tembaga yang disebut dengan “Chien” atau “Cash”, yang kesannya diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran. Jaman Dinasti Sung di China (960-1279) yaitu puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang-orang China yang tiba ke Jawa untuk berdagang, sambil membawa uang-uang kepengnya dalam jumlah besar.
Ma Huan, seorang Islam sebagai juru tulis Laksamana Cheng Ho, mencatat keadaan pada tahun 1405. Dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416, dikatakan bahwa :
“Koin-koin China dari banyak sekali dinasti umum digunakan disini”….. “Dalam melaksanakan transaksi, pembayarannya menggunakan koin-koin cash tembaga China dari banyak sekali dinasti”…. “Orang-orang disini (Jawa Timur) sangat bahagia dengan porselin-porselin China dengan motif hijau bunga, kain sutera, manik-manik dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash”….
Karena uang Chien banyak diekspor ke Jawa, maka pada jaman Dinasti Ming di China (1368-1644), terjadi keguncangan moneter akhir langkanya uang kecil. Akhirnya pemerintah Ming melaksanakan larangan ekspor uang Ch’ien ke luar negeri, termasuk ke Jawa. Sebagai gantinya VOC mengimport koin-koin kepeng dari negara-negara lain, menyerupai Jepang, Korea dan Vietnam. Tahun 1723 Jepang kesannya menghentikan export uang cash.
Sebagai pengganti uang Chien yang tidak boleh di export oleh Kaisar Ming, pada sekitar tahun 1590 mulai beredar koin-koin picis dari timah atau timbal (lead). Uang picis ini dibentuk di China, diangkut bersamaan dengan kedatangan kapal-kapal Jung dengan berat rata-rata 200-300 ton. Kapal-kapal tersebut sebanyak 15-20 kapal setahunnya, tiba pada bulan November atau Desember, dan akan kembali ke China pada bulan Juni tahun berikutnya, dengan membawa rempah-rempah yang dibelinya dari Banten. Sebanyak 12-13 ribu picis seharga satu dollar Spanyol, yang sanggup membeli merica sebanyak 8 kantong. Di Indonesia, hanya Bali yang tetap menggunakan koin cash China dalam bertransaksi, bahkan masih digunakan hingga dengan pada tahun 1950!
.
B. Perdagangan dengan VOC (1602-1799).Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk digunakan membeli rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa alasannya uang yang digunakan di Banten yaitu picis-picis dari timbal.
Dari ekspedisi awal ini kesannya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company (1594-1602), dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna digunakan sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini kesannya menimbulkan persaingan usaha, yang pada kesannya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang gres yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Karena seringnya terjadi kekosongan mata uang kecil, maka tahun 1726 VOC meminta kepada induknya di Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang disebut Dute, Doit atau Duit. Duit VOC ini dinyatakan tidak berlaku dinegeri induknya Belanda, dan hanya diedarkan untuk daerah-daerah dimana VOC berada. Namun peredaran duit tembaga ini cukup luas alasannya diedarkan juga di wilayah-wilayah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon.
Pada tahun 1743, VOC melaksanakan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut yaitu derma hak kepada VOC untuk mencetak mata-uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama “Derham Djawi” atau “Java Ducat” atau “Gold Rupee” (untuk koin emas), dan “Silver Java Rupee” (untuk koin peraknya).
Koin yang pertama kali dibentuk VOC dipercetakan uang di Batavia yaitu Dirham Jawi dengan tahun 1744. Pada penggalan muka terdapat goresan pena dalam bahasa Arab : “Ila djazirat Djawa al-kabir”, sedang di penggalan belakangnya : “Derham min Kompani Welandawi”. Yang artinya : “Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar”.
Pada tahun 1799 VOC kesannya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, yang dimulailah babak gres masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya.
B. Perdagangan dengan VOC (1602-1799).Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk digunakan membeli rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa alasannya uang yang digunakan di Banten yaitu picis-picis dari timbal.
Dari ekspedisi awal ini kesannya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company (1594-1602), dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna digunakan sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini kesannya menimbulkan persaingan usaha, yang pada kesannya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang gres yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Karena seringnya terjadi kekosongan mata uang kecil, maka tahun 1726 VOC meminta kepada induknya di Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang disebut Dute, Doit atau Duit. Duit VOC ini dinyatakan tidak berlaku dinegeri induknya Belanda, dan hanya diedarkan untuk daerah-daerah dimana VOC berada. Namun peredaran duit tembaga ini cukup luas alasannya diedarkan juga di wilayah-wilayah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon.
Pada tahun 1743, VOC melaksanakan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut yaitu derma hak kepada VOC untuk mencetak mata-uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama “Derham Djawi” atau “Java Ducat” atau “Gold Rupee” (untuk koin emas), dan “Silver Java Rupee” (untuk koin peraknya).
Koin yang pertama kali dibentuk VOC dipercetakan uang di Batavia yaitu Dirham Jawi dengan tahun 1744. Pada penggalan muka terdapat goresan pena dalam bahasa Arab : “Ila djazirat Djawa al-kabir”, sedang di penggalan belakangnya : “Derham min Kompani Welandawi”. Yang artinya : “Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar”.
Pada tahun 1799 VOC kesannya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, yang dimulailah babak gres masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya.
.
C. Emergency coins atau mata-uang darurat.Mata-uang darurat dibentuk bila tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Hal ini terjadi jikalau tidak adanya kiriman koin-koin Duit dari Belanda, atau belum datangnya jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin-koin picis.
Salah satu bentuk uang darurat yaitu yang dinamakan “Bonk”, yang dibentuk dengan cara memotong batangan-batangan tembaga Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standard, dan dicetak dalam beberapa pecahan, menyerupai ½, 1 atau 2 Stuiver.
Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada penggalan sebelah muka terdapat lambang VOC dan abjad “N” diatasnya (singkatan dari Nederlansche). Dibagian belakangnya tertulis : 1 Duit 1796 atau 1797. Karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka duit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang menimbulkan duit-duit timah itu menjadi sangat langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari adonan dua bahan, yaitu perunggu dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, yang dicampur dengan timbal. Pada sisi muka dicetak : JAVA 1799/1800, dan dibaliknya dicetak : 1 Stuiver.
C. Emergency coins atau mata-uang darurat.Mata-uang darurat dibentuk bila tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Hal ini terjadi jikalau tidak adanya kiriman koin-koin Duit dari Belanda, atau belum datangnya jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin-koin picis.
Salah satu bentuk uang darurat yaitu yang dinamakan “Bonk”, yang dibentuk dengan cara memotong batangan-batangan tembaga Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standard, dan dicetak dalam beberapa pecahan, menyerupai ½, 1 atau 2 Stuiver.
Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada penggalan sebelah muka terdapat lambang VOC dan abjad “N” diatasnya (singkatan dari Nederlansche). Dibagian belakangnya tertulis : 1 Duit 1796 atau 1797. Karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka duit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang menimbulkan duit-duit timah itu menjadi sangat langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari adonan dua bahan, yaitu perunggu dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, yang dicampur dengan timbal. Pada sisi muka dicetak : JAVA 1799/1800, dan dibaliknya dicetak : 1 Stuiver.
.
.
4. JAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS
(1800-1942).
4. JAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS
(1800-1942).
.
A. Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942).Setelah VOC dinyatakan gulung tikar pada tahun 1799, maka pemerintahan Belanda mengambil oper seluruh harta dan kekuasaan VOC. Mulailah jaman pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya, dimana Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Tahun 1825-1830 di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Jawa” atau “Perang Diponegoro”.
Akibat perang yang berkepanjangan ini, kas Belanda menjadi kosong! Untuk memenuhi pundi-pundi nya, maka van den Bosch memperkenalkan apa yang disebut dengan “Cultuur Stelsel” atau “Tanam Paksa”. Dalam periode ini, dicetak berjuta-juta keping mata-uang dengan pecahan Satu dan Dua Sen.
Koin perak 2.5 Gulden gres dibentuk pada tahun 1840 sehabis dilakukan standarisasi pada mata-uang pada pemerintahan Raja Willem I. Berbagai macam mata-uang baik emas, perak, dan tembaga juga dibentuk pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau Wilhelmina.
Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849), percetakan uang di Batavia dan di Surabaya ditutup untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada selesai tahun 1843. Dengan ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka semenjak dikala itu semua mata-uang dikirim pribadi dari negeri Belanda.
Pada jaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Kelip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali sehabis cetakan kedua tahun 1855. Koin-koin Sen dari tembaga juga dicetak, dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Pada masa-masa inilah koin cash Cina mulai ditinggalkan pemakaiannya. Koin tembaga 2 ½ sen disebut sebagai uang “Gobang” atau “Benggol”, dan mempunyai fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat “Kerokan”.
Pada waktu bertahtanya Ratu Wilhelmina (1890-1948), timbul perang dunia kedua, dimana tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan menggunakan kapal kargo. Dan ditempat pelariannya itu, Ratu membentuk “pemerintahan dalam pengasingan”. Pada masa perang itu, koin-koin tahun 1941-45 dicetak di Amerika, dengan perhiasan abjad kecil pada penggalan belakang bawah. Huruf “D” yaitu akronim dari “Denver” (1943-1945); “P’ yaitu “Philadelphia” (1941-1945); dan “S” untuk “San Francisco” (1944-1945). Pada tahun 1945, sehabis kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahannya di penggalan timur telah memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Republik Indonesia!
A. Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942).Setelah VOC dinyatakan gulung tikar pada tahun 1799, maka pemerintahan Belanda mengambil oper seluruh harta dan kekuasaan VOC. Mulailah jaman pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya, dimana Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Tahun 1825-1830 di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Jawa” atau “Perang Diponegoro”.
Akibat perang yang berkepanjangan ini, kas Belanda menjadi kosong! Untuk memenuhi pundi-pundi nya, maka van den Bosch memperkenalkan apa yang disebut dengan “Cultuur Stelsel” atau “Tanam Paksa”. Dalam periode ini, dicetak berjuta-juta keping mata-uang dengan pecahan Satu dan Dua Sen.
Koin perak 2.5 Gulden gres dibentuk pada tahun 1840 sehabis dilakukan standarisasi pada mata-uang pada pemerintahan Raja Willem I. Berbagai macam mata-uang baik emas, perak, dan tembaga juga dibentuk pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau Wilhelmina.
Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849), percetakan uang di Batavia dan di Surabaya ditutup untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada selesai tahun 1843. Dengan ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka semenjak dikala itu semua mata-uang dikirim pribadi dari negeri Belanda.
Pada jaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Kelip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali sehabis cetakan kedua tahun 1855. Koin-koin Sen dari tembaga juga dicetak, dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Pada masa-masa inilah koin cash Cina mulai ditinggalkan pemakaiannya. Koin tembaga 2 ½ sen disebut sebagai uang “Gobang” atau “Benggol”, dan mempunyai fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat “Kerokan”.
Pada waktu bertahtanya Ratu Wilhelmina (1890-1948), timbul perang dunia kedua, dimana tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan menggunakan kapal kargo. Dan ditempat pelariannya itu, Ratu membentuk “pemerintahan dalam pengasingan”. Pada masa perang itu, koin-koin tahun 1941-45 dicetak di Amerika, dengan perhiasan abjad kecil pada penggalan belakang bawah. Huruf “D” yaitu akronim dari “Denver” (1943-1945); “P’ yaitu “Philadelphia” (1941-1945); dan “S” untuk “San Francisco” (1944-1945). Pada tahun 1945, sehabis kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahannya di penggalan timur telah memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Republik Indonesia!
.
B. Pendudukan Perancis (1806-1811).
Pada tahun 1806, Perancis menduduki Belanda, yang mengakibatkan transfer kekuasaan atas seluruh. wilayah yang diduduki Belanda. Karena pendudukan Perancis dilakukan dinegeri Belanda, maka efek secara pribadi terhadap pendudukan Indonesia sangat kecil sekali. Seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Tahun 1806 Napoleon mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa itu koin-koin Perancis 2 Stuivers (Sols) dan 1 Stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku di wilayah Hindia Belanda.
Pada tahun 1808 H.W. Daendels tiba untuk menempati posnya sebagai Gubernur Jendral yang gres di Hindia Belanda. Daendels memerintahkan semoga koin-koin dicetak dengan nama raja L.N. (Louis Napoleon), baik dengan abjad Blok maupun dengan Hiasan (Ornate). Tahun 1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh tembok-tembok yang mengelilingi Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada disekeliling kota. Daendels juga membuka percetakan mata-uang yang gres di Surabaya, yang menimbulkan percetakan uang Batavia menjadi mandeg.
Adapun koin pertama yang dicetak di Surabaya yaitu duit tembaga dengan goresan pena “JAVA 1806” serta lambang VOC dibalik-nya. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin itu sendiri gres dicetak pada bulan Februari 1807.
Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Dan mulailah babak gres pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun kedepan!
B. Pendudukan Perancis (1806-1811).
Pada tahun 1806, Perancis menduduki Belanda, yang mengakibatkan transfer kekuasaan atas seluruh. wilayah yang diduduki Belanda. Karena pendudukan Perancis dilakukan dinegeri Belanda, maka efek secara pribadi terhadap pendudukan Indonesia sangat kecil sekali. Seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Tahun 1806 Napoleon mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa itu koin-koin Perancis 2 Stuivers (Sols) dan 1 Stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku di wilayah Hindia Belanda.
Pada tahun 1808 H.W. Daendels tiba untuk menempati posnya sebagai Gubernur Jendral yang gres di Hindia Belanda. Daendels memerintahkan semoga koin-koin dicetak dengan nama raja L.N. (Louis Napoleon), baik dengan abjad Blok maupun dengan Hiasan (Ornate). Tahun 1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh tembok-tembok yang mengelilingi Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada disekeliling kota. Daendels juga membuka percetakan mata-uang yang gres di Surabaya, yang menimbulkan percetakan uang Batavia menjadi mandeg.
Adapun koin pertama yang dicetak di Surabaya yaitu duit tembaga dengan goresan pena “JAVA 1806” serta lambang VOC dibalik-nya. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin itu sendiri gres dicetak pada bulan Februari 1807.
Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Dan mulailah babak gres pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun kedepan!
.
C. Pendudukan Inggris (1811-1816).Pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris mendarat di teluk Batavia, yang kesannya sanggup merebut Jawa, sehingga Belanda harus menyerahkan koloninya kepada Inggris. Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, pendudukan Inggris dilakukan secara langsung, dimana wilayah Nusantara berada dalam kekuasaan Inggris. Untuk pertama kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal.
Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris yaitu koin Java Rupee yang terbuat dari emas dan perak. Pada penggalan depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno, “Kempni Hingglis, jasa hing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AS 1741”. Sedangkan dibaliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu : “Hinglish, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar djazirat Djawa”.
Semua koin-koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, kecuali koin-koin darurat Doit Java dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia. Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, maka menurut perjanjian Wina tahun 1814 Inggris harus mengembalikan Jawa dan kawasan lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu sendiri gres dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.
C. Pendudukan Inggris (1811-1816).Pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris mendarat di teluk Batavia, yang kesannya sanggup merebut Jawa, sehingga Belanda harus menyerahkan koloninya kepada Inggris. Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, pendudukan Inggris dilakukan secara langsung, dimana wilayah Nusantara berada dalam kekuasaan Inggris. Untuk pertama kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal.
Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris yaitu koin Java Rupee yang terbuat dari emas dan perak. Pada penggalan depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno, “Kempni Hingglis, jasa hing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AS 1741”. Sedangkan dibaliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu : “Hinglish, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar djazirat Djawa”.
Semua koin-koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, kecuali koin-koin darurat Doit Java dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia. Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, maka menurut perjanjian Wina tahun 1814 Inggris harus mengembalikan Jawa dan kawasan lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu sendiri gres dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.
.
D. British East India Company di Sumatra.Inggris mempunyai sentra perdagangannya di Bencoolen (Bengkulu), dengan membangun benteng dengan nama “FORT YORK”. Karena benteng dibakar oleh penduduk pada sekitar tahun 1700, maka tahun 1719 Inggris pindah ke benteng barunya yang berjulukan “FORT MARLBRO” (atau Fort Marlborough).
Pada tahun 1797 Inggris mencetak mata-uangnya dengan nilai ½ Dollar, dengan goresan pena FORT MARLBRO disisi baliknya.
Lalu pada bulan Maret 1818 ditunjuk Sir Stamford Raffles untuk menduduki posnya yang gres di Bengkulu. Berdasarkan perjanjian tanggal 17 Maret 1824, maka Inggris harus menyerahkan Bengkulu dan semua pendudukannya di pantai barat Sumatra kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris, dan membolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura.
Para pedagang Inggris di Singapura juga menciptakan mata-uangnya sendiri untuk diedarkan di wilayah Sumatra dan Sulawesi, menyerupai Keping-keping Minangkabau, Aceh, Tanah Melayu, Uang Ayam, dan sebagainya.
D. British East India Company di Sumatra.Inggris mempunyai sentra perdagangannya di Bencoolen (Bengkulu), dengan membangun benteng dengan nama “FORT YORK”. Karena benteng dibakar oleh penduduk pada sekitar tahun 1700, maka tahun 1719 Inggris pindah ke benteng barunya yang berjulukan “FORT MARLBRO” (atau Fort Marlborough).
Pada tahun 1797 Inggris mencetak mata-uangnya dengan nilai ½ Dollar, dengan goresan pena FORT MARLBRO disisi baliknya.
Lalu pada bulan Maret 1818 ditunjuk Sir Stamford Raffles untuk menduduki posnya yang gres di Bengkulu. Berdasarkan perjanjian tanggal 17 Maret 1824, maka Inggris harus menyerahkan Bengkulu dan semua pendudukannya di pantai barat Sumatra kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris, dan membolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura.
Para pedagang Inggris di Singapura juga menciptakan mata-uangnya sendiri untuk diedarkan di wilayah Sumatra dan Sulawesi, menyerupai Keping-keping Minangkabau, Aceh, Tanah Melayu, Uang Ayam, dan sebagainya.
.E. Token-token perkebunan dan pertambangan.
Pada jaman pemerintahan Belanda, banyak token-token yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatra, Bangka, Kalimantan, bahkan juga dipulau Batjan Ternate. Yang disebut Token yaitu mata-uang yang biasanya dibentuk oleh pihak swasta, dan hanya mempunyai area peredaran yang sangat terbatas. Token hanya berlaku pada area dimana token tersebut diedarkan; diluar area tersebut token sama sekali tidak mempunyai nilai.
Pada jaman pemerintahan Belanda, banyak token-token yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatra, Bangka, Kalimantan, bahkan juga dipulau Batjan Ternate. Yang disebut Token yaitu mata-uang yang biasanya dibentuk oleh pihak swasta, dan hanya mempunyai area peredaran yang sangat terbatas. Token hanya berlaku pada area dimana token tersebut diedarkan; diluar area tersebut token sama sekali tidak mempunyai nilai.
.
F. Mata-uang lainnya.
Selain beraneka-ragamnya mata uang yang telah diceritakan diatas, masih banyak mata uang lainnya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Sejak jaman VOC, Belanda dan Inggris, digunakan juga mata uang asing, menyerupai uang Spanyol dan dari negara-negara jajahannya menyerupai Meksiko, Bolivia, Peru, Brazil, dll, juga dari negara-negara India, Persia, Austria, Amerika, China dan Jepang (mata uang perak modern), Hong Kong, Sarawak, Straits Settlements, dll. Dan kesemua mata-uang diatas hingga kini masih sanggup ditemukan di banyak sekali wilayah di Indonesia.
F. Mata-uang lainnya.
Selain beraneka-ragamnya mata uang yang telah diceritakan diatas, masih banyak mata uang lainnya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Sejak jaman VOC, Belanda dan Inggris, digunakan juga mata uang asing, menyerupai uang Spanyol dan dari negara-negara jajahannya menyerupai Meksiko, Bolivia, Peru, Brazil, dll, juga dari negara-negara India, Persia, Austria, Amerika, China dan Jepang (mata uang perak modern), Hong Kong, Sarawak, Straits Settlements, dll. Dan kesemua mata-uang diatas hingga kini masih sanggup ditemukan di banyak sekali wilayah di Indonesia.
.
.5. JAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945).Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Jepang banyak mencetak mata-uang kertas, dan hanya satu seri koin saja yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5 dan 10 Sen. Semuanya dicetak dengan tahun Jepang 2603 dan 2604 (1943 dan 1944 Masehi), yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Militer Jepang No. 2 tertanggal 8 Maret 2602 (1942). Koin pecahan 1 dan 5 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin nominal 10 Sen terbuat dari timah. Pada koin-koin nominal 5 dan 10 Sen, dibagian muka terdapat gambar Wayang, sedangkan nominal 1 Sen terdapat gambar kepala wayang. Dibagian belakangnya terdapat goresan pena Jepang, JAVA, Nominal (Sen), dan tahun Jepang 2603/04.
.
.6. JAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945-SEKARANG)
.
Pada tahun-tahun awal sehabis proklamasi kemerdekaan, banyak dicetak uang kertas seri ORI (Oeang Republik Indonesa), dan uang-uang darurat yang dicetak oleh daerah-daerah (URIDA), tanpa satupun dicetak koin-koin sebagai mata uang.
Koin Indonesia dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Koin ini terbuat dari aluminium dengan pecahan 5 Sen, dengan lubang pada penggalan tengahnya. Koin aluminium pecahan 10 Sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga. Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 Sen (yang mempunyai desain sama dengan pecahan 5 Sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan pecahan 50 Sen dengan gambar Dipanegara.
Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus di Kepulauan Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari aluminium, dan terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 Sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku lagi semenjak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi “KEPULAUAN RIAU”.
Pada masa pembebasan IRIAN BARAT, juga dicetak koin-koin seri Sukarno yang dicetak khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan semuanya bertahun 1962 (dicetak tahun 1964). Namun kesannya dinyatakan tidak berlaku lagi semenjak tanggal 31 Desember 1971.
Pada masa pemerintahan Suharto (1967-1998), banyak sekali koin-koin menarik yang dicetaknya, menyerupai koin-koin peringatan 25 tahun kemerdekaan, seri-seri binatang, koin-koin emas, dll.
Koin Indonesia dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Koin ini terbuat dari aluminium dengan pecahan 5 Sen, dengan lubang pada penggalan tengahnya. Koin aluminium pecahan 10 Sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga. Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 Sen (yang mempunyai desain sama dengan pecahan 5 Sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan pecahan 50 Sen dengan gambar Dipanegara.
Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus di Kepulauan Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari aluminium, dan terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 Sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku lagi semenjak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi “KEPULAUAN RIAU”.
Pada masa pembebasan IRIAN BARAT, juga dicetak koin-koin seri Sukarno yang dicetak khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan semuanya bertahun 1962 (dicetak tahun 1964). Namun kesannya dinyatakan tidak berlaku lagi semenjak tanggal 31 Desember 1971.
Pada masa pemerintahan Suharto (1967-1998), banyak sekali koin-koin menarik yang dicetaknya, menyerupai koin-koin peringatan 25 tahun kemerdekaan, seri-seri binatang, koin-koin emas, dll.
.
.
PATOKAN NILAI TUKAR MATA UANG JAMAN DULU.
PATOKAN NILAI TUKAR MATA UANG JAMAN DULU.
- 1 Silver Dukaton = 3 Gulden = 60 Stuiver = 240 Duit
- 1 Gulden = 20 Stuiver = 80 Duit.
- 1 Dirham emas / Dirham Jawi = 16 Silver Rupee (atau = 16 Gulden).
- 1 Stuiver = 4 Duit.
- 1 Gulden = 20 Stuiver = 80 Duit.
- 1 Dirham emas / Dirham Jawi = 16 Silver Rupee (atau = 16 Gulden).
- 1 Stuiver = 4 Duit.
.
ISTILAH-ISTILAH MATA UANG.
- 2 ½ Gulden = Ringgit
- 1 Gulden = Rupiah
- ½ Gulden = Ukon
- ¼ Gulden = Talen atau setalen
- 1/10 Gulden = Ketip
- 1/20 Gulden = Kelip
.
.Bandung, 17 Oktober 2009.
Ditulis oleh,
Puji Harsono,
Pengamat Numismatika.
Ditulis oleh,
Puji Harsono,
Pengamat Numismatika.
iklan
0 Response to "Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia"
Post a Comment